Friday 19 April 2013

Haruskah Kebersamaan Kita Berakhir Disini?

Haruskah Kebersamaan Kita Berakhir Disini?
Bismillah..
Islam telah memberikan bimbingan untuk mengatasi suami atau istri yang berbuat nusyuz. 

Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).

sebagaimana firman Allah dalam QS. Annisa ayat 34, pengertian nusyuz ini lebih ditekankan pada istri, karena yang biasa melakukan pembangkangan adalah pihak yang dipimpin, bukan yang memimpin. nusyuz seorang istri bisa terjadi karena beberapa sebab, diantaranya; lemahnya iman, kurangnya ilmu agama dan rusaknya pergaulan. 

Mengobati Istri yang Nusyuz
Bila terjadi problem dalam rumah tangga tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, sementara permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah. 


Demikian pula bila terjadi nusyuz (pembangkangan) dari pihak istri. Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam Al-Qur’an:“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.”(an-Nisa’: 34)

Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan. Sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas, “Istri itu diberi nasihat kalau memang ia mau menerima nasihat. Kalau tidak mempan, ia ditinggalkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)

Bila cara nasihat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga, barulah ditempuh cara pukulan namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 177)

1. Memberi nasihat dan bimbingan
Ini merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasihat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ibnu Qudamah mengatakan, “Dalam nasihat itu ia ditakut-takuti kepada Allah, diingatkan apa yang Allah wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya, diperingatkan akan dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian bila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasihat.” (al-Mughni, 7/241)

2. al-Hajr
Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasihat dalam upaya menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan, sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr. Ibnu Abbas menafsirkan hajr ini dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya, dan memunggunginya. As-Sudi, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan, “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir al-Baghawi, 1/423)

3. Pukulan
Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan. Karena ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberikan tindakan fisik.

Termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan al-Qurthubi t dengan pukulan pendidikan (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (al-Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak keras atau meninggalkan bekas. Sebagaimana pesan Rasulullah n dalam haji Wada’:
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian 1. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Sahih, HR. Muslim no. 1218)

Yang dimaksud (ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ k)2 kata al-Hasan al-Bashri yaitu pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504). Atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang. Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)

‘Atha t pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang maksud:
ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)
Al-Imam an-Nawawi berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.” Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)

Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah. Karena Rasulullah n telah memperingatkan:
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ-
“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)

Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk menzalimi para istri. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113)

Bagaimana Bila Suami yang Nusyuz?
Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya. Namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki serta lemahnya kemampuan dan kekuatannya.

Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya, ia bisa melakukan hal-hal berikut.

1. Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?

2. Menasihati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah l wajibkan atasnya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.

3. Sepantasnya istri selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya menyayanginya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al-Qur’an berikut ini:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa’: 128)

Al-Imam ath-Thabari berkata, “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya, atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami, dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya. Juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir ath-Thabari, 5/306)

Ibnu Qudamah berkata, “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya. Ketika istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya, nafkahnya, atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (al-Mughni, 7/243)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di berkata tentang ayat di atas, “Maka yang lebih baik pada keadaaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami, asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai). 

Atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya. Atau dalam hal giliran, ia menggugurkan haknya tersebut, atau dengan cara menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 206)

Mendamaikan Sengketa
Allah berfirman:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri….” (an-Nisa’: 35)

Bila terjadi perselisihan antara suami istri dan tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya, atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. 

Mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak. Satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun jika tidak ada, boleh dari selain keluarga. (al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hlm. 473)

Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali maka kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini yang dipegangi oleh mazhab Malikiyyah, satu riwayat dari Syafi‘iyyah, dan satu riwayat dari Hanabilah. (al-Muwaththa’ karya al-Imam Malik t, 2/584, al-Mughni 7/243—244)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Dalam ikrar, ikatan itu ingin terus dijalin bersama
Namun seketika badai datang menerpa
Saat itu, ia pun terpaku seraya bertanya pada diri
Haruskah perjalanan kita berakhir di sini…?


==================================================
1 Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi, istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi), seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)
2 Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsir.

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) sumber : asysyariah.com

Artikel Terkait

Haruskah Kebersamaan Kita Berakhir Disini?
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email